Pejabat Pembuat Akta
Tanah (selanjutnya disingkat PPAT)
adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik
mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas
Satuan Rumah Susun
Pengertian Umum Camat
sebagai PPAT
Sementara
PPAT Sementara adalah Pejabat
Pemerintah yang ditunjuk karena
jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT di daerah
yang belum cukup terdapat PPAT
PPAT Sementara diangkat
dengan surat keputusan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi
A. Tugas Pokok PPAT
1.
PPAT
bertugas pokok melaksanakan sebagian pendaftaran tanah dengan membuat akta
sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas
tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi
pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.
2.
Perbuatan
hukum
yang harus dibuat akta oleh PPAT adalah:
a.
Jual
Beli;
b.
Tukar
menukar;
c.
Hibah;
d.
Pemasukan
ke dalam perusahaan (inbreng);
e.
Pembagian
hak bersama;
f.
Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak
Pakai atas Tanah Hak Milik;
g.
Pemberian
Hak Tanggungan;
h.
Pemberian
Kuasa membebankan Hak Tanggungan.
3.
Kewenangan
a.
Membuat
akta otentik semua perbuatan hukum (jual beli, hibah dsb) mengenai hak atas
tanah dan Hak Milik Atas Satua Rumah Susun
b.
Membuat
akta mengenai hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satua Rumah Susun yang terletak
di dalam daerah kerjanya.
Daerah kerja PPAT Sementara dan
PPAT khusus meliputi wilayah kerjanya sebagai pejabat Pemerintah yang menjadi
dasar penunjukkannya.
4. Larangan PPAT
1.
PPAT
dilarang merangkap jabatan atau profesi
a.
pengacara
atau advokat;
b.
pegawai
negeri, atau pegawai Badan Usaha Milik Negara/Daerah;
2.
PPAT
dilarang untuk menjalankan jabatannya sebagai PPAT dan PPAT Sementara sebelum
mengucapkan sumpah jabatan, apabila hal tersebut dilanggar maka akta yang
dibuat tidak sah dan tidak dapat dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan
data pendaftaran tanah.
3.
PPAT
dilarang untuk membuat akta, apabila :
a.
PPAT
sendiri,
b.
suami
atau isterinya,
c.
keluarga
sedarah atau semenda, dalam garis lurus tanpa pembatasan derajat dan dalam
garis kesamping sampai derajat kedua,
d.
menjadi
pihak dalam perbuatan hukum yang bersangkutan, baik dengan cara bertindak sendiri
maupun melalui kuasa, atau menjadi kuasa dari pihak lain.
4.
Meninggalkan
kantornya lebih dari 6(enam) hari kerja
berturut-turut kecuali dalam rangka menjalankan cuti.
B. Syarat Pengangkatan PPAT
Dalam
PP 37/1998, dinyatakan bahwa Syarat untuk dapat diangkat menjadi PPAT adalah:
a.
berkewarganegaraan
Indonesia;
b.
berusia
sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun;
c.
berkelakuan
baik yang dinyatakan dengan surat keterangan yang dibuat oleh instansi
Kepolisian setempat;
d.
belum
pernah dihukum penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan
Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
e.
sehat
jasmani dan rohani;
f.
lulusan
program pendidikan spesialis notariat atau program pendidikan khusus PPAT yang
diselenggarakan oleh lembaga pendidikan tinggi;
g.
lulus
ujian yang diselenggarakan oleh Kantor
Menteri Negara Agraria/Badan Pertanahan Nasional.
Jabatan PPAT
Sementara
Camat yang wilayah kerjanya
berada di dalam daerah Kabupaten/Kota
yang formasi PPAT-nya belum terpenuhi dapat ditunjuk sebagai PPAT Sementara
PPAT Sementara diangkat dengan
surat keputusan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi
Pelaksanaan Sumpah Jabatan
a.
Sebelum
menjalankan jabatannya sebagai PPAT dan PPAT Sementara wajib mengangkat sumpah
jabatan PPAT dihadapan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota di daerah kerja
PPAT yang bersangkutan
b.
PPAT
dan PPAT Sementara wajib melapor kepada Kepala Kantor Pertanahan mengenai
pengangkatannya sebagai PPAT (paling lama dalam jangka waktu 3(tiga) bulan
sejak tanggal ditetapkannya surat keputusan pengangkatan), untuk keperluan
pengangkatan sumpah jabatan
c.
Kepala
Kantor Pertanahan melaksanakan pengambilan sumpah jabatan PPAT dan atau PPAT
Sementara dalam jangka waktu 1 (satu) bulan setelah diterimanya laporan
d.
Sumpah
jabatan PPAT dan PPAT Sementara dituangkan dalam suatu berita acara yang
ditandatangani oleh PPAT atau PPAT Sementara yang bersangkutan, Kepala kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota dan para saksi.
C. Kantor PPAT
1.
Dalam
waktu 1 (satu) bulan setelah pengambilan sumpah jabatan , PPAT wajib :
a.
menyampaikan
alamat kantornya, contoh tanda tangan, contoh paraf, dan teraan cap/stempel
jabatannya kepada Kepala Kantor Wilayah BPN, Bupati/Walikota, Ketua Pengadilan
Negeri, dan kepala kantor Pertanahan yang wilayahnya meliputi daerah kerja PPAT
yang bersangkutan.
b.
melaksanakan
jabatannya secara nyata.
2.
PPAT
harus berkantor di satu kantor dalam daerah kerjanya sebagaimana ditetapkan
dalam surat keputusan pengangkatannya atau penetapan lain dari pejabat yang
berwenang mengangkat PPAT
3.
Dalam
hal PPAT merangkap jabatan notaris, maka Kantor tempatnya melaksanakan tugas
jabatan notaris menjadi kantor PPAT,
4.
PPAT
tidak dapat mempunyai kantor cabang atau perwakilan atau bentuk lainnya dengan
maksud menawarkan jasanya kepada masyarakat.
5.
Kantor
PPAT harus dibuka setiap hari kecuali pada hari libur resmi dengan jam kerja
minimum sebagaimana jam kerja Kantor Pemerintah di wilayah setempat.
6.
Pada
jam kerja Kantor PPAT harus melayani masyarakat mengenai hal-hal yang
menyangkut pembuatan akta PPAT dan pemberian keterangan serta dokumen berkenaan
dengan akta PPAT yang sudah dibuat yang menurut ketentuan menjadi hak
masyarakat untuk memperolehnya.
7.
Kantor
PPAT harus dipasang Papan Nama Jabatan Pembuat Akta Tanah sesuai ketentuan yang
berlaku, contoh rincian papan nama sebagai berikut:
a
|
Ukuran
|
: 100x40 cm/ 150x60cm atau
200x80 cm
|
b
|
Warna
|
: Dasar dicat putih, tulisan
hitam
|
c.
|
Bentuk huruf
|
:
Cetak kapital (huruf besar), untuk nama dipergunakan huruf yang lebih besar
|
D. Jenis-jenis Peralihan Hak Atas
Tanah
Dalam PP No.
24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah jo Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
yang menjelaskan jenis-jenis peralihan hak atas tanah yang terjadi sebagai
akibat suatu perbuatan hukum maupun sebagai akibat peristiwa hukum yang
meliputi :
1.
Jual
beli, yaitu peralihan hak sebagai akibat telah dibuatnya suatu perjanjian
dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu
kebendaan (tanah) dan pihak lainnya untuk membayar harga yang telah dijanjikan.
2.
Tukar
menukar, yaitu peralihan hak yang terjadi karena adanya suatu perjanjian dengan
mana kedua belah pihak mengikatkan dirinya untuk saling memberikan suatu barang
secara bertimbal balik sebagai gantinya suatu barang lain.
3.
Hibah,
yaitu peralihan hak sebagai akibat adanya suatu perjanjian dengan mana si
penghibah diwaktu hidpnya dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik
kembali menyerahkan suatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima
penyerahan itu.
4.
Pemasukan
dalam perusahaan, yaitu peralihan hak yang terjadi sebagai akibat adanya
perjanjian dengan mana pihak yang satu memasukkan tanahnya sebagai penyertaan
ke dalam suatu Perseroan Teratas sebagai pihak kedua, selanjutnya pihak kedua
mengganti nilai tanah tersebut dengan saham perusahaan dimaksud.
5.
Pembagian
hak bersama, yaitu peralihan hak yang terjadi sebagai akibat timbulnya
perjanjian diantara para pihak untuk mengakhiri suatu pemilikan bersama.
6.
Warisan,
yaitu peralihan hak yang terjadi sebagai akibat suatu peristiwa hukum yaitu
matinya seorang pewaris.
7.
Putusan
pengadilan, yaitu peralihan hak yang timbul sebagai akibat adanya keputusan
hakim atas suatu obyek sengketa yang sudah berkekuatan hukum tetap.
8.
Wakaf,
yaitu peralihan hak yang terjadi sebagai akibat dibuatnya Akta Ikrar Wakaf oleh
wakif kepada nadzir sehingga tanah tersebut menjadi tanah wakaf.
Bab II
HAL HAL YANG BERHUBUNGAN
DENGAN PEMBUATAN AKTA PERALIHAN HAK ATAS TANAH
A. Pengecekan Keaslian Sertipikat Hak Atas Tanah
Persiapan awal yang dilakukan
oleh para pihak untuk melakukan pemindahan hak atas tanah adalah menyiapkan
bukti pemilikan berupa sertipikat hak atas tanah dan menunjuk siapa PPAT yang
akan membuat akta pemindahan haknya yang nantinya akan dijadikan sebagai dasar
pencatatan perubahan data pendaftaran tanah pada Kantor Pertanahan.
1.
Selanjutnya tindakan yang
harus dilakukan oleh PPAT terhadap sertipikat obyek jual beli tersebut adalah
melakukan pengecekan ke Kantor Pertanahan berkaitan dengan kebenaran data fisik
dan yuridis yang tertera serta keabsahannya. Hal ini sesuai bunyi ketentuan
Pasal 97 ayat (1) PMNA/Ka.BPN Nomor 3 Tahun 1997, bahwa :
“Sebelum melaksanakan
pembuatan akta mengenai pemindahan atau pembebanan hak atas tanah atau Hak
Milik Atas Satuan Rumah Susun PPAT wajib
terlebih dahulu melakukan pemeriksaan pada Kantor Pertanahan mengenai
kesesuaian sertipikat hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun
yang bersangkutan dengan daftar-daftar yang ada pada Kantor Pertanahan setempat
dengan memperlihatkan sertipikat asli.”
2. Ketentuan diatas dimaksudkan untuk memberikan
perlindungan kepada pihak penerima hak yaitu pembeli. seandainya ternyata
sertipikat hak atas tanah yang disampaikan kepada PPAT tersebut mengandung data
yang tidak sesuai dengan data yang ada pada buku tanah hak atas tanah pada
Kantor Pertanahan. Juga apabila ternyata sertipikat yang disampaikan tersebut
bukan dokumen yang dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan bersangkutan.
3. Dalam praktek kadang terjadi, bahwa terhadap suatu hak
atas tanah telah dimohonkan blokir oleh pihak yang berkepentingan atau telah
diletakkan sita jaminan (conservatoir
beslaag) oleh Pengadilan Negeri yang dalam permohonannya tidak dilampiri
sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan; sehingga terhadap permohonan itu
hanya bisa dicatat pada buku tanahnya saja. Apabila terdapat catatan yang
demikian itu, maka Kantor Pertanahan akan segera memberitahukan kepada PPAT
yang bersangkutan agar pembuatan aktanya ditunda dulu sampai ada kepastian,
bahwa terhadap hak atas tanah tersebut bisa dibuatkan akta jual beli dimaksud.
4. Tentang waktu penyelesaian pengecekan sertipikat ini
diatur dalam Pasal 97 ayat (7) PMNA/Ka.BPN Nomor 3 Tahun 1997 jo.
PKBNRI No 1 tahun 2010 yang pada intinya
menyatakan bahwa pengecekan sertipikat
dilakukan paling lama adalah 1 (satu) hari. Maksud dari ketentuan ini adalah
penyelesaian pekerjaan permohonan pengecekan sertipikat harus pada hari itu
juga atau dengan kata lain bahwa penyerahan sertipikat yang sudah dibubuhi tanda
pengecekan oleh Kantor Pertanahan itu harus dilakukan pada tanggal yang sama
dengan tanggal permohonan pengecekannya oleh PPAT dimaksud.
5. Terhadap pengecekan sertipikat ini dimungkinkan timbul
beberapa macam hasil pengecekan, antara lain :
a. Apabila sertipikat yang dicek tersebut sesuai dengan
daftar-daftar yang ada pada Kantor Pertanahan, sesuai dengan Pasal 97 ayat (3)
PMNA/Ka.BPN Nomor 3 Tahun 1997, maka Kepala Kantor Pertanahan atau pejabat yang
ditunjuk membubuhkan cap atau tulisan yang berbunyi “Telah diperiksa dan sesuai dengan daftar di Kantor Pertanahan” pada
halaman perubahan sertipikat asli tersebut, kemudian diparaf pejabat yang telah
melakukan pengecekan serta diberi tanggal pengecekannya.
b. Apabila sertipikat yang dimohonkan pengecekannya tidak sesuai
dengan daftar-daftar yang ada pada Kantor Pertanahan, maka diambil tindakan
berikut :
c. Apabila sertipikat tersebut bukan dokumen yang
diterbitkan oleh Kantor Pertanahan, maka pada sampul dan semua halaman
sertipiat tersebut dibubuhkan cap atau tulisan dengan kalimat “Sertipikat ini tidak diterbitkan oleh
Kantor Pertanahan ..............” kemudian diparaf.
6. Apabila sertipikat tersebut adalah dokumen yang
diterbitkan oleh Kantor Pertanahan, akan tetapi dat fisik dan atau data yuridis
yang termuat didalamnya tidak sesuai lagi dengan data yang tercatat dalam buku
tanah dan aau surat ukur yang bersangkutan, kepada PPAT yang bersangkutan
diterbitkan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) sesuai data yang tercatat
pada Kantor Pertanahan dan pada sertipikat yang bersangkutan tidak dicantumkan
sesuatu tanda. Penerbitan SKPT ini dilakukan selambat-lambatnya dalam 7 (tujuh)
hari kerja terhitung dari tanggal pengecekan
7. Dalam sistem pendaftaran tanah
kita yang menganut sistem buku tanah, maka setiap terjadi perubahan kepemilikan
atas suatu bidang tanah, senantiasa harus dicantumkan/didaftarkan dasar
perubahannya dimaksud. Jadi sepanjang tidak dapat dibuktikan yang sebaliknya
melalui pengadilan yang berwenang, maka pemilik yang sah atas suatu bidang
tanah adalah siapa yang namanya terantum dalam sertipikat tersebut. Jadi akta jual
beli maupun hibah (untuk selanjutnya disebut akta pemindahan hak) maupun
dasar-dasar yuridis lainnya tersebut yang akan dijadikan sebagai dasar
peralihan haknya. Hal ini berbeda dengan sistem pendaftaran tanah yang
menggunakan sistem akta, yang mana akta pemindahan hak itulah yang menjadi
bukti kepemilikan atas suatu bidang tanah.
8. Dalam perjalanan pendaftaran
tanah di Indonesia, saat ini berlakulah Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah
dalam Pasal 37 menyebutkan :
“Peralihan hak atas
tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar
menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan
hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang, hanya dapat
didaftarkan, jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang
berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”
9. Dalam PP
No. 24/1997 menyatakan bahwa peralihan hak atas
tanah atau perbuatan hukum pemindahan hak lainya hanya dapat didaftarkan jika
dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT. Hal ini membawa konsekuensi logis
bahwa perjanjian yang bermaksud untuk memindahkan hak atas tanah tidak hanya
dan tidak harus dibuktikan dengan akta PPAT. Sehingga semua akta otentik maupun
surat di bawah tangan mengenai pemindahan hak atas tanah diakui eksistensinya. Sehingga
apabila seorang notaris membuat akta tentang pemindahan hak atas tanah ataupun
para pihak membuat surat perjanjian pemindahan hak di bawah tangan, hal
tersebut sah-sah saja dengan catatan bahwa akta atau pun surat tersebut berlaku
untuk kepentingan para pihak saja. Mengapa demikian? Karena akta tersebut tidak
dapat dijadikan sebagai dasar pencatatan perubahan data yuridis pendaftaran
tanah.
10. Pencatatan perubahan data
yuridis ini dimaksudkan untuk memenuhi asas publisitas yang akan melindungi
kepentingan pihak ketiga. Jadi sepanjang untuk kepentingan dasar perubahan
pendaftaran tanah, maka perjanjian pemindahan hak atas tanah tersebut harus
dibuat dalam bentuk akta otentik oleh PPAT.
B. Pajak-Pajak Yang Berhubungan Dengan Pembuatan Akta Tanah
1.
Pajak
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan BPHTB
Pajak BPHTB = 5% x (NPOP –
NPOPTKP)
a.
Pengenaan
pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) ini didasarkan pada
Undang-undang No. 21/1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan jo
Undang-undang No. 20/2000 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 21/1997
tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. Prinsip dasar dalam
undang-undang BPHTB di atas adalah self
assessment yang artinya bahwa wajib pajak menghitung dan membayar sendiri
utang pajaknya. Dari judul undang-undang di atas jelas bahwa yang menjadi obyek
pajak adalah tanah dan bangunan.
b.
Besarnya
pajak BPHTB adalah 5% dari Nilai Perolehan Obyek Pajak Kena Pajak (NPOPKP)
yaitu Nilai Perolehan Obyek Pajak (NPOP) setelah dikurangi dengan Nilai
Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) atau dapat dirumuskan :
Pajak BPHTB = 5% x (NPOP – NPOPTKP)
c.
Besarnya
NPOPTKP secara nasional untuk pemindahan hak selain warisan dan hibah wasiat
adalah Rp. 30.000.000,-. Namun demikian tiap-tiap daerah dapat menetapkan
besarnya NPOPTKP dengan maksimum Rp. 30.000.000,- tersebut. NPOPTKP ini setiap
tahunnya ditetapkan oleh Menteri Keuangan berdasarkan hasil evaluasi dan usulan
daerah yang bersangkutan.
d.
Untuk
jual beli tanah, maka NPOP-nya adalah nilai tertinggi antara harga transaksi
dengan harga NJOP PBB tahun berjalan. Seperti telah dibahas sebelumnya, maka
harga transaksi yang dipakai adalah harga transaksi dalam arti formal yaitu
yang tertera pada akta jual beli bersangkutan..
e.
Menurut
ketentuan UU No. 20/2000 ini, PPAT hanya dapat menandatangani akta pemindahan
hak ata tanah dan atau bangunan pada saat wajib pajak menyerahkan bukti
pembayaran pajak berupa Surat Setoran BPHTB (SSB).
f.
Dengan
asas self assessment di atas, apabila dari hasil penghitungan sendiri yang
tertuang dalam Surat Setoran BPHTB (SSB) kemudian diketahui terdapat kekurangan
jumlah pajaknya, maka Menteri Keuangan c.q. Kepala Kantor Pajak akan
menerbitkan Surat Ketetapan BPHTB Kurang Bayar SKBKB)
2.
Pajak Penghasilan
Pajak Penghasilan = 5% x Nilai Pengalihan
a.
Ketenuan
mengenai pajak penghasilan yang diperoleh wajib pajak dari penjualan anah dan
bangunan diatur dalam Peraturan Pemerintah No : 48 Tahun 1994 tentang
Pembayaran Penghasilan Atas Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas dan/atau
Bangunan jo Peraturan Pemerintah No : 27 Tahun 1996 tentang
Perubahan atas Peraturan Pemerintah No: 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran
Penghasilan Atas Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan.
b.
Secara
umum besarnya pajak penghasilan ditetapkan 5% dari jumlah bruto nilai
pengalihan. Sementara itu yang dimaksud dengan nilai pengalihan itu sendiri
adalah nilai yang tertinggi antara nilai berdasarkan akta pengalihan hak dengan
Nilai Jual Obyek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan (NJOP PBB) tanah dan/atau
bangunan yang bersangkutan. Nilai pajak penghasilan ini akan dituangkan dalam
Surat Setoran Pajak Penghasilan (SSP) yang besarnya dapat diformulasikan :
Pajak Penghasilan = 5% x Nilai Pengalihan
c.
Sesuai Pasal 5 PP No. 48/1994,
maka terdapat beberapa kasus pengalihan tanah dan/atau bangunan yang
dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan pajak penghasilannya,
dalam hal :
1).
Orang
pribadi yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas
tanah dan/atau bangunan yang jumlah brutonya kurang dari Rp. 60.000.000,-
2).
Orang
pribadi yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas
tanah dan/atau bangunan kepada pemerintah;
d.
Pajak
penghasilan bagi orang pribadi ini bersifat final, artinya bahwa begitu dicapai
kesepakatan tentang jual belinya, maka seketika itu pula wajib pajak
berkewajiban membayar pajak penghasilan yang terutang. Hal ini pula yang
menjadi syarat dapat ditandatanganinya akta jual beli oleh PPAT yaitu manakala
penjual sudah melampirkan SSP yang merupakan bukti pembayaran pajak
penghasilannya.
e.
Sebenarnya
pajak penghasilan atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan ini
dikenakan terhadap semua orang pribadi yang melakukan pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan yang nilai pengalihannya di atas Nilai Penghasilan Tidak Kena
Pajak (NPTKP) dari wajib pajak bersangkutan. Namun dalam praktek hal tersebut
tidak dapat diketahui berapa penghasilan tahunan seseorang karena tidak
tersedianya data base untuk itu, sehingga untuk sementara ini pajak penghasilan
dikenakan hanya terhadap pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang nilai
pengalihannya mulai dari Rp. 60.000.000,- ke atas.
BAB III
PEMBUATAN AKTA
PERALIHAN HAK ATAS TANAH
A. Blanko
dan Tempat Pembuatan Akta Peralihan
Hak
1.
Blangko Akta PPAT
a.
Akta PPAT dibuat dengan mengisi blanko akta yang
tersedia secara lengkap sesuai dengan petunjuk pengisiannya.
b.
Pengisian
blanko akta dalam rangka pembuatan akta PPAT, harus dilakukan sesuai dengan
kejadian, status dan data yang benar dan didukung oleh dokumen yang menurut
pengetahuan PPAT yang bersangkutan adalah benar.
c.
Akta
PPAT dibuat sebanyak 2 (dua) lembar asli, satu lembar disimpan di kantor PPAT
dan satu lembar disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan untuk keperluan
pendaftaran, sedangkan kepada pihak-pihak yang bersangkutan diberikan
salinannya.
d.
Apabila
akta sudah selesai dibuat, maka satu rangkap akta asli beserta dokumen-dokumen
pendukung tersebut disampaikan ke Kantor Pertanahan untuk didaftarkan
pemindahan haknya setelah dibuatkan oleh pengantar oleh PPAT. Penyampaian akta
ini harus dilakukan oleh PPAT selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak
ditandatanganinya akta yang bersangkutan.
e.
Salinan
surat pengantar PPAT yang telah dibubuhi tanda terima petugas Kantor Pertanahan
harus disampaikan oleh PPAT kepada calon penerima hak sehingga ia mengetahui
bahwa berkas pemindahan hak atas tanahnya telah disampaikan
2.
Tempat Pembuatan Akta PPAT
a.
PPAT
melaksanakan tugas pembuatan akta PPAT di kantornya dengan dihadiri oleh para
pihak dalam perbuatan hukum yang bersangkutan atau kuasanya sesuai ketentuan
yang berlaku.
b.
PPAT
dapat membuat akta di luar kantornya hanya apabila salah sau pihak dalam
perbuatan hukum atau kuasanya yang sesuai ketentuan yang berlaku harus hadir
tidak dapat datang di kantor PPAT karena alasan yang sah, dengan ketentuan
bahwa para pihak harus hadir dihadapan PPAT ditempat pembuatan akta tersebut.
B. Materi Pembuatan Akta Peralihan
Hak
Secara
teknis terdapat hal-hal yang harus diperhatikan oleh PPAT dalam pembuatan akta
pemindahan hak atas tanah, antara lain yang berkaitan dengan :
1.
Subyek,
antara lain meliputi :
1).
Para
pihak harus tidak ada hubungan keluarga
dengan PPAT, baik sedarah/semenda dalam garis lurus tanpa pembatas dan
kesamping sampai derajat kedua, baik bertindak sendiri atau melalui kuasa.
2).
PPAT
sendiri, isteri atau suaminya tidak
boleh menjadi pihak dalam akta, baik bertindak sendiri atau melalui kuasa.
3).
Penghadap
cakap dan berwenang (baik dalam harta bawaan maupun dalam harta gono gini). Hal
ini terkait dengan pengertian “cakap hukum dan dewasa hukum” serta kewenangan
terhadap suatu harta terkait dengan ketentuan KUHPerdata maupun UU Perkawinan.
Sehingga harus diteliti benar ada tidaknya perjanjian kawin tentang pemisahan
harta apabila perbuatan hukum pemindahan hak itu tidak diperlukan peretujuan
dari suami atau istri penjual atau penghibah.
4).
Pembuatan
akta PPAT tersebut harus disaksikan oleh 2 (dua) orang yang memenuhi syarat
menurut peraturan perundang-undangan. Dilarang sebagai saksi bila terhadap para
pihak memiliki hubungan sebagai suami, istri, atau memiliki hubungan darah
dalam garis keturunan lurus dalam derajad tak terbatas dan ke samping sampai
derajad 2 (dua).
2.
Obyek,
antara lain meliputi :
1).
Obyek
(hak atas tanah/hak milik atas rumah susun) harus berada di wilayah kerja PPAT
bersangkutan.
2). Untuk pemindahan atas sebagian
hak atas tanah, harus dimohonkan pengukurannya terlebig dahulu sehingga
diketahui luas dan Nomor Induk Bidangnya. Hal ini untuk memenuhi asa
spesialitas atas obyek pemindahan hak. Juga dimaksudkan agar penghitungan
pajak-pajaknya tidak mengalami kesalahan.
3). Terkait dengan tanah pertanian
atau tanah yang dalam sertipikatnya terdapat keterangan bahwa untuk dapat
dipindahtangankan harus memperoleh ijin dari pejabat yang berwenang, maka ijin
tersebut harus sudah diperoleh terlebih dahulu.
4). Khusus untuk tanah pertanian,
maka calon penerima hak harus berdomisili di kecamatan letak tanah atau
kecamatan yang berbatasan dengan letak tanah, calon penerima hak harus sudah
dewasa dengan pengertian dapat mengerjakan tanah tersebut secara efektif, calon
penerima hak tidak boleh mengakibatkan pemilikan bersama kecuali oleh suami
istri dan dengan pemindahan hak tersebut tidak mengakibatkan pemilikan yang
melebihi ketentuan maksimum pemilikan tanah pertanian.
3.
Isi Akta, antara lain meliputi :
1). Komparasi akta; komparasi akta harus menguraikan secara
jelas para penghadap dalam kapasitasnya masing-masing. Untuk badan hukum harus
diuraikan syarat status badan hukum tersebut diperoleh, misalnya untuk
perseroan terbatas status badan hukum diperoleh apabila akta pendiriannya sudah
disahkan oleh menteri hukum dan perundangan, badan hukum koperasi status badan hukum diperoleh apabila
akta pendiriannya sudah disahkan oleh pejabat departemen koperasi dan
sebagainya. Harus diperhatikan unsur-unsur badan hukum yang bersangkutan dan
kapasitasnya sesuai dengan anggaran dasarnya.
2). Akta PPAT seharusnya dibacakan/dijelaskan isinya kepada para pihak dengan dihadiri oleh
sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi, sebelum ditandatangani seketika itu
juga oleh para pihak, saksi-saksi dan PPAT (Pasal 22 PP No. 37 Tahun 1998). Hal
ini dimaksudkan agar tidak menimbulkan permasalahan dikemudian hari apabila
terjadi pemalsuan tandatangan para pihak dan dapat merugikan pembeli yang
beritikad baik.
a.
Dokumen
pendukung lainnya, antara lain meliputi :
1).
Identitas
penghadap, dapat berupa KTP atau Paspor;
2).
Kartu
Keluarga, ini untuk membuktikan bahwa pemberi persetujuan terhadap pemindahan
hak atas tanah milik bersama benar-benar suami atau istri yang sah;
3).
Surat
Kuasa apabila perbuatan hukum pemindahan hak tersebut dikuasakan;
4).
Surat
Perwalian apabila kapasitas penghadap adalah sebagai wali;
5).
Surat
pernyataan dari calon penerima hak yang isinya bahwa
dengan pemindahan hak tersebut tidak melanggar ketentuan Landreform;
6).
Meminta Surat Pernyataan dari
pemegang hak bahwa tanahnya tidak dalam sengketa dan tidak sedang
dijaminkan/diagunkan.
7).
SPPT
PBB tahun berjalan, diperlukan untuk penghitungan pajak BPHTB maupun pajak
penghasilannya;
8).
Surat
Setoran BPHTB; Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan BPHTB(misalnya
jual beli, besarnya= 5% x (NPOP – NPOPTKP)
9).
Surat
Setoran PPh; (contoh Pajak Penghasilan untuk jual beli = 5% x Nilai Pengalihan)
10).
Surat
permohonan pemindahan hak atas tanah kepada Kepala Kantor Pertanahan setempat.
C. Penolakan Pembuatan Akta
Peralihan Hak
1.
Dalam
pasal 39 PP 24/1997 dinyatakan bahwa, PPAT dapat menolak untuk membuat akta,
jika :
a.
Mengenai
bidang tanah yang sudah terdaftar atau hak milik atas satuan rumah susun,
kepadanya tidak disampaikan sertipikat asli hak yang bersangkutan, atau
sertipikat yang diserahkan tidak sesuai dengan daftar-daftar yang ada pada
Kantor Pertanahan; atau
b.
mengenai
bidang tanah yang belum terdaftar, kepadanya tidak disampaikan:
1).
surat
bukti hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 24 ayat (1) (berupa alat bukti tertulis, keterangan saksi dan atau pernyataan yang
bersangkutan yang kadar kebenarannya dianggap cukup) atau surat keterangan
Kepala Desa/Kelurahan yang menyatakan bahwa yang bersangkutan menguasai bidang
tanah tersebut sebagaimana dimaksud dalam pasal 24 ayat (2); dan
2).
surat
keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang bersangkutan belum
bersertipikat dari Kantor Pertanahan,
atau untuk tanah yang terletak di daerah jauh dari kedudukan Kantor Pertanahn,
dari pemegang hak yang bersangkutan dengan dikuatkan oleh Kepala
Desa/Kelurahan;
c.
Salah
satu dari para pihak yang akan melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan atau
salah satu saksi tidak berhak atau tidak memenuhi syarat untuk bertindak
demikian; atau
d.
Salah
satu pihak atau para pihak bertindak atas dasar suatu surat kuasa mutlak yang
pada hakekatnya berisikan perbuatan hukum pemindahan hak; atau
e.
Untuk
perbuatan hukum yang dilakukan belum diperoleh Ijin Pejabat atau instansi yang
berwenang, apabila ijin tersebut diperlukan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku; atau
f.
Obyek
perbuatan hukum yang bersangkutan sedang dalam sengketa mengenai data fisik dan
atau data yuridisnya; atau
g.
Tidak
dipenuhi syarat lain atau dilanggar larangan yang ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan.
2.
Penolakan
untuk membuat akta tersebut diberitahukan secara tertulis kepada pihak-pihak
yang bersangkutan disertai alasannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar